Setiap musim haji, ribuan jemaah asal Aceh menerima santunan berupa uang tunai di Tanah Suci. Ini bukan dari dana pemerintah atau sponsor perusahaan, melainkan dari sebuah lembaga wakaf yang telah bertahan lebih dari dua abad lamanya. Lembaga itu bernama Baitul Asyi, dan sosok luar biasa di baliknya adalah Habib Bugak Al Asyi, seorang dermawan asal Aceh yang mewakafkan hartanya di Makkah untuk kepentingan umat Islam Aceh yang berhaji. Kisah ini tidak hanya tentang sedekah biasa, tetapi tentang visi besar, perjuangan, dan peran diplomasi dalam menjaga amanah wakaf lintas zaman.
Siapa Habib Bugak Al Asyi?
Habib Bugak Al Asyi adalah seorang saudagar kaya dan tokoh masyarakat asal Aceh Besar, yang hidup sekitar akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19. Nama lengkapnya diperkirakan adalah Habib Abdurrahman bin Alwi Al-Habsyi, namun dalam beberapa catatan lokal disebut juga Haji Habib bin Buja’ Al-Asyi. Ia dikenal luas karena kemurahan hatinya dan kecintaannya kepada tanah kelahiran serta umat Islam secara umum.
Ketika Habib Bugak menunaikan ibadah haji ke Makkah, ia menyaksikan langsung kesulitan jemaah dari Aceh yang tidak memiliki tempat tinggal layak. Hal itu membekas dalam hatinya, dan ia mengambil keputusan besar: meletakkan wakaf abadi untuk membantu jemaah Aceh di masa mendatang. Ia membeli sebidang tanah di kawasan Qusyasyiah, dekat dengan Masjidil Haram, dan mewakafkannya untuk jemaah Aceh. Dana untuk membeli tanah tersebut sendiri merupakan dana pribadi dan kumpulan dana dari rakyat Aceh yang ia ajak untuk berwakaf di Makkah. Tanah itu kemudian dikenal sebagai Wakaf Habib Bugak Al Asyi.
Lahirnya Baitul Asyi
Tanah yang diwakafkan oleh Habib Bugak menjadi tempat tinggal (rumah singgah) bagi para jemaah Aceh. Tempat ini disebut sebagai Baitul Asyi (Rumah Aceh), simbol identitas dan warisan Aceh di jantung kota Makkah. Tujuan utama wakaf ini adalah memberikan tempat tinggal gratis dan nyaman bagi jemaah asal Aceh selama berhaji.
Wakaf ini dikelola oleh seorang nazhir (pengelola wakaf) yang ditunjuk oleh Habib Bugak dan diteruskan secara turun-temurun. Wakaf ini juga dilindungi secara hukum dan diakui oleh sistem peradilan Kerajaan Arab Saudi.
Perkembangan Aset Wakaf
Seiring waktu, lokasi awal wakaf terkena dampak perluasan Masjidil Haram. Pemerintah Arab Saudi memberikan kompensasi dalam bentuk dana, yang kemudian digunakan oleh nazhir untuk membeli properti lain di lokasi strategis di Makkah, termasuk di kawasan Aziziyah dan Misfalah. Properti-properti ini kemudian dikembangkan menjadi hotel dan usaha produktif, di antaranya:
- Hotel Elaf Al Mashaer
- Hotel Ramada
- Hotel Wakaf Habib Bugak Asyi di Aziziyah
- Tanah dan Bangunan untuk kantor Nazir Wakaf di Makkah
Hotel-hotel ini beroperasi secara profesional dan hasil usahanya digunakan untuk membiayai santunan kepada jemaah Aceh serta operasional wakaf.
Pembagian Santunan kepada Jemaah
Setiap musim haji, para jemaah Aceh mendapatkan santunan tunai dari hasil pengelolaan wakaf. Jumlahnya bervariasi tergantung pendapatan tahun tersebut, namun rata-rata berkisar antara 1.000–2.000 riyal Saudi (sekitar Rp 6–9 juta per orang). Pada tahun 2025, tercatat sebanyak 4.758 jemaah menerima santunan sebesar 2.000 riyal.
Penyaluran dilakukan langsung oleh nazhir resmi wakaf di Makkah, dan biasanya dibagikan di hotel-hotel tempat jemaah Aceh menginap. Santunan ini bukan hanya meringankan beban finansial, tapi juga mempererat ikatan emosional antara jemaah Aceh dan sejarah wakaf yang mulia ini.
Upaya Pengambilalihan oleh Pemerintah Indonesia
Wakaf Habib Bugak Al Asyi juga sempat menjadi perhatian serius pemerintah Indonesia. Mengingat nilai aset yang besar dan pentingnya peran wakaf ini, pernah ada upaya dari Pemerintah Indonesia untuk mengambil alih atau mengelola langsung wakaf tersebut.
Namun, upaya tersebut tidak mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Arab Saudi. Alasannya jelas: berdasarkan sistem perwakafan di Arab Saudi, setiap wakaf dikelola sesuai dengan akad dan kehendak pewakaf yang tercatat dalam dokumen hukum. Karena Habib Bugak sudah menetapkan bahwa yang mengelola adalah nazhir lokal di Makkah, maka pemerintah Saudi tetap menghormati amanah itu.
Penolakan tersebut juga mencerminkan betapa seriusnya otoritas Saudi dalam menjaga integritas wakaf. Wakaf dianggap sebagai amanah ilahiah yang tidak boleh diubah kecuali oleh kehendak pewakaf sendiri, dan harus dikelola sesuai syarat-syarat awal yang sudah ditentukan.
Tanggapan Masyarakat Aceh
Sebagian kalangan di Aceh menyambut baik keutuhan wakaf ini. Mereka beranggapan bahwa meskipun dikelola oleh pihak luar (yakni nazhir di Arab Saudi), manfaatnya tetap sampai ke masyarakat Aceh. Yang penting adalah konsistensi dalam penyaluran dan tidak adanya penyalahgunaan dana.
Namun, ada juga pihak yang mengkritisi narasi yang berkembang, khususnya dalam penamaan wakaf. Mereka menegaskan bahwa nama resmi yang tertulis dalam dokumen dan papan properti di Makkah adalah “Wakaf Habib Bugak Asyi”, bukan “Baitul Asyi” sebagaimana sering disebut. Menurut mereka, pelabelan ulang ini bisa mengaburkan identitas asli pewakaf dan sejarah awalnya.
Wakaf sebagai Identitas dan Budaya
Wakaf Habib Bugak Al Asyi bukan sekadar sumbangan. Ia telah menjadi identitas budaya dan sejarah masyarakat Aceh. Tradisi pemberian santunan di Tanah Suci menjadi cerita yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia memperkuat kesadaran bahwa warga Aceh memiliki warisan spiritual dan historis yang unik dalam peta Islam dunia.
Selain itu, ini juga menjadi simbol peran aktif masyarakat Aceh dalam sejarah peradaban Islam. Aceh, yang sejak dulu dikenal sebagai “Serambi Mekkah”, ternyata benar-benar meninggalkan jejak konkret di jantung kota suci umat Islam.
Potensi dan Inspirasi
Wakaf Habib Bugak juga menjadi sumber inspirasi bagi banyak pihak untuk menyalurkan harta mereka ke dalam wakaf produktif. Bayangkan, satu wakaf yang dilakukan dua abad lalu, masih memberikan manfaat besar hingga hari ini. Ini menunjukkan bahwa wakaf yang dikelola dengan benar dapat menjadi mesin kebaikan yang tak habis-habis.
Kini, beberapa lembaga wakaf di Indonesia mulai mengembangkan konsep “wakaf produktif”, terinspirasi dari model seperti Wakaf Habib Bugak. Mereka mulai merancang pengelolaan dana wakaf dalam bentuk usaha yang hasilnya bisa disalurkan ke penerima manfaat secara berkelanjutan.
Wakaf Habib Bugak Al Asyi adalah bukti bahwa satu niat baik dan strategi cerdas bisa memberi manfaat lintas generasi. Dalam era modern yang serba cepat, warisan seperti ini mengingatkan kita bahwa keabadian amal bukan terletak pada besar kecilnya harta, tetapi pada ketulusan niat dan pengelolaan yang amanah.
Bagi masyarakat Aceh, wakaf ini adalah kebanggaan, warisan spiritual, dan motivasi untuk meneruskan tradisi berbagi dan kepedulian sosial. Dan bagi dunia Islam, wakaf ini menjadi teladan nyata bahwa kontribusi umat dari berbagai penjuru dunia—termasuk dari nusantara—telah mengakar dalam sejarah kota suci Makkah.








